Pada saat ini istilah
budaya organisasi banyak digunakan dalam organisasi perusahaan, bahkan beberapa
perusahaan memasang tulisan yang menunjukkan budaya organisasi mereka di
tempat-tempat yang menarik perhatian. Misalnya di depan pintu masuk kantor,
atau di dekat tempat para karyawan melayani pelanggan. Konsep budaya organisasi
mulai berkembang sejak awal tahun
1980-an. Konsep budaya organisasi diadopsi dari konsep budaya yang lebih dahulu
berkembang pada disiplin ilmu antropologi (Sobirin, 2007:128-129).
Budaya organisasi
menurut Schein dalam Sobirin (2007:132)
adalah pola asumsi dasar yang dianut bersama oleh sekelompok orang setelah
sebelumnya mereka mempelajari dan meyakini kebenaran pola asumsi tersebut
sebagai cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan
adaptasi eksternal dan integrasi internal, sehingga pola asumsi dasar tersebut
perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk
berpersepsi, berpikir dan mengungkapkan perasaannya dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan
organisasi.
Bagaimana
Budaya Organisasi Terbentuk
Robbins (2003:729) menyatakan bahwa proses penciptaan budaya
organisasi terjadi dalam tiga cara. Pertama, para pendiri hanya memperkerjakan
dan mempertahankan karyawan yang memiliki pola pikir sama dan sependapat dengan
cara-cara yang mereka tempuh. Kedua, mereka mengindoktrinasikan dan
mensosialisasikan para karyawan ini dengan cara berpikir dan cara berperasaan
mereka. Bila organisasi berhasil, maka visi pendiri menjadi terlihat sebagai
penentu utama keberhasilan. Pada titik ini, keseluruhan kepribadian pendiri
menjadi tertanam ke dalam budaya organisasi.
Robbins (2003:724)
membedakan budaya yang kuat dan budaya yang lemah. Budaya yang kuat mempunyai
dampak yang lebih besar pada perilaku karyawan dan lebih langsung terkait
dengan pengutangan turn-over karyawan. Dalam budaya yang kuat, nilai
inti organisasi dipegang secara mendalam dan dianut bersama secara meluas.
Makin banyak anggota yang menerima nilai-nilai inti dan makin besar komitmen
mereka pada nilai-nilai tersebut, maka makin kuat budaya tersebut. Budaya yang
kuat juga memperlihatkan kesepakatan yang tinggi di kalangan anggota mengenai
apa yang dipertahankan oleh organisasi. Kebulatan maksud tersebut selanjutnya
membina keakraban, kesetiaan, dan komitmen organisasi.
Contoh Kasus Pada Enron Corp :
Budaya etis
organisasi mendapat perhatian yang semakin besar, terutama setelah terungkapnya
budaya tidak etis Enron Corp. yang membawa kebangkrutan serta kepailitan besar
di AS pada akhir tahun 2001. Budaya tidak etis Enron Corp. tersebut berupa
penekanan yang berlebihan terhadap pertumbuhan laba perusahaan, juga penekanan
imbalan kepada karyawan yang semata-mata berupa bonus uang. Bahkan salah
seorang CEO-nya, Jeff Skilling, mengatakan bahwa segala sesuatu dapat diselesaikan
dengan uang di Enron. Termasuk loyalitas pun bisa dibeli dengan uang. Oleh
karena itu berkaitan dengan etika, Robbins (2003:740) memberikan saran untuk
menciptakan budaya yang etis dengan cara sebagai berikut :
1. Menjadi model yang kelihatan; karena karyawan
akan melihat perilaku manajemen puncak sebagai tolok ukur merancang perilaku
yang tepat. Bila manajemen senior terlihat suka mengambil perilaku atau
cara-cara yang etis, maka hal ini memberikan kesan yang kuat bahwa kaidah etis
diharapkan untuk diikuti karyawan.
2.
Komunikasikan harapan etis; karena ambiguitas
etis bisa diminimalisir oleh penyebaran kode etik organisasi. Kode etik
tersebut harus menetapkan nilai-nilai utama organisasi dan kaidah etis yang
diharapkan untuk diikuti karyawan.
3.
Berikanlah pelatihan etis; dalam bentuk
lokakarya, seminar, dan program-progam pelatihan etis. Gunakanlah sesi
pelatihan untuk mendorong standar perilaku organisasi, untuk mengklarifikasi
praktik apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dan juga untuk mengajukan
dilema etis yang mungkin dihadapi oleh para karyawan.
4.
Berikanlah imbalan terhadap perilaku etis, dan
hukuman terhadap perilaku tidak etis. Penilaian kinerja karyawan haruslah
mencakup sarana yang diambil untuk mencapai sasaran dan hasil, dan juga
perilaku etika yang bersangkutan. Tindakan etis, masuk dalam penilaian positif
kinerja sedangkan perilaku tidak etis harus mendapat hukuman secara kasat mata.
5.
Sediakanlah mekanisme yang bersifat
melindungi karyawan yang melaporkan perilaku tidak etis tanpa takut ditegur.
Sangat penting bagi organisasi untuk mengadakan konselor etik, obudsmen, atau pejabat etik.
sumber : mercubuana.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar