Contoh
Kasus L/C (Letter of Credit)
Letter of Credit
( LC ) adalah Surat Berharga, yang merupakan alat bayar untuk sesuatu transaksi
ekspor-impor, sehingga pengaturan hukum atas Letter of Credit tersebut diatur
adalam perjanjian
Internasional (
bukan perjanjian Nasional / Indonesia ) yang dikuti oleh semua Negara-negara
didunia, yaitu menggunakan UCP.500 ( United Custom Practice .500 )
Macam-macam
Letter of Credit adalah :
1. Sight Letter
of Credit
2. Usance Letter
of Credit
3. Red Clause
Letter of Credit
1. SIGHT LETTER
OF CREDIT adalah :
Alat bayar yang
berupa surat kredit yang diterbitkan oleh Bank ( Issuing Bank ) dari Pembeli di
Luar Negeri ( Importir ), bahwa pembayaran akan dilakukan sesuai dengan waktu
yang telah
ditentukan dalam
Surat Kredit tersebut, Dan LC tersebut dapat di diskontokan oleh Penjual di
dalam negeri ( Eksportir ) lewat Bank didalam negeri ( Negotiating Bank )
dengan cara melakukan Collection ( yaitu penagihan pembayaran oleh Negotiating
Bank kepada Issuing Bank ),
2. USANCE LETTER
OF CREDIT adalah :
Alat bayar yang
berupa surat kredit yang diterbitkan oleh Bank ( Issuing Bank ) dari Pembeli di
Luar Negeri ( Importir ), bahwa pembayaran akan dilakukan sesuai dengan waktu
yang telah
ditentukan dalam
Surat Kredit tersebut, Dan LC tersebut dapat di diskontokan oleh Penjual di
dalam negeri ( Eksportir ) lewat Bank didalam negeri ( Negotiating Bank ),
dengan mengikuti semua persyaratan yang tercantum dalam LC tersebut.
Dalam Usance LC,
pendiskontoan dapat dilakukan apabila semua proses pengiriman telah dilakukan
oleh Eksportir dan dokumen-2 inilah yang menyertai LC tersebut untuk diserahkan
ke Negotiating Bank, dalam rangka pendiskontoan LC tersebut, dengan demikian
segala Resiko
pembayaran telah diambil alih oleh Negotiating Bank di dalam negeri.
3. RED CLAUSE LETTER
OF CREDIT adalah :
Alat bayar yang
berupa surat kredit yang diterbitkan oleh Bank ( Issuing Bank ) dari Pembeli di
Luar Negeri ( Importir ), yang berisi Perintah pembayaran terlebih dahulu
maksimal sebesar
80% dari Issuing
Bank di Luar Negeri kepada Negotiating Bank di dalam negeri, dimana Eksportir
belum melakukan aktivitas ekspor sama sekali, ( LC ini merupakan pembayaran
uang muka dari Importir ( down payment ) kepada Eksportir ), LC tersebut sangat
likwid berlaku di perbankan, karena semua resiko telah ditanggung oleh Bank
Penerbit di Luar Negeri dan pasti dibaya sesuai waktu yang telah ditentukan.
Dalam Red Clause
LC, pendiskontoan 80% dapat dilakukan oleh Eksportir tanpa harus melakukan
aktivitas ekspor terlebih dahulu, karena perlakuan dalam LC tersebut adalah
sangat Khusus, yaitu Eksportir & Importir telah berulang kali melakukan
transaksi ekspor, Sehingga timbul kepercayaan yang tinggi dari Importir kepada
Eksportir dan biasanya antara Bank kedua belah pihak telah melakukan
korenpondensi terlebih dahulu. Sedangkan pelunasan 100% akan dilakukan oleh
Negotiating Bank, apabila Eksportir telah selesai melakukan pengiriman
ekspornya dengan menyerahkan dokumen-2 pengirimannya ke Negotiating Bank.
Alat Bayar
lainnya yang diatur dalam undang-undang International yaitu, Kartu Kredit
(Credit Card), dimana dengan Kartu kredit para pemegangnya dapat melakukan
transaksi pembayaran dengan semua pihak yang menjadi Holder dari Bank Penerbit
Kartu Kredit tersebut, baik didalam negeri maupun di luar negeri. Dan selain daripada
itu mempunyai fungsi yang lain, yaitu untuk mengambil UANG TUNAI/CASH sebesar
yang tercantum dalam credit limit kartu kredit tersebut.
Secara umum
perlakuan verifikasi dari Credit Card dan Letter of Credit adalah sama, yaitu
penjual atau bank penjual melakukan verifikasi/authorifikasi kepada Bank
Penerbit ( Issuing Bank ), sehingga penjual atau Bank penjual dapat aman
melakukan pembayaran terlebih dahulu kepada pemegang LC atau pemegang kartu
kredit tersebut. contoh kasus dalam pemakaian transaksi yang menggunakan ALAT
BAYAR KARTU KREDIT :
· Pemilik Kartu
Kredit sebelum menerima Kartu Kredit akan menanda tangani kesepakatan antara
dia dengan Issuing Bank, berupa perjanjian tertulis.
· Antara
Holder/Toko dan bank Pemberi alat authorifikasi/verifikasi, juga membuat
kesepakatan-2 atas penggunaan alat online tersebut, agar alat tersebut
digunakan
sebagai
ketentuan2 yang ada.
· Pemilik Kartu
Kredit sedang berbelanja disebuah toko, yang mana dia sedang membeli barang
elektronik seharga Rp 2.500.000,- , tetapi kemudian teringat membutuhkan uang
cash
sebesar Rp.
500.000, karena tidak akan sempat ke ATM, untuk mengambil tunai dengan Kartu Kredit
tersebut, maka dia meminta tolong kepada pemilik toko, agar kwintansi dalam
barang tersebut
dibuat Rp. 3.000.000,- dimana yang Rp.500.000 dia minta secara TUNAI atau CASH
dan yang Rp. 2.500.000 berupa barang yang dia beli.
· Pasti pemilik
toko akan memperbolehkan setelah melakukan verifikasi atau authorifikasi kepada
Bank Penerbit Kartu Kredit, Dan Bank Penerbit akan memperbolehkan selama saldo
yang ditetapkan kepada Pemilik Kartu Kredit masih mencukupi, sedangkan untuk
melakukan verifikasi atau authorifikasi tidak perlu menggunakan telpun, tetapi
cukup menggunakan suatu
alat online yang
telah disepakati dan disetujui sebagai alat verifikasi dan ini berlaku seluruh
dunia, sebagai suatu kesepakatan Internasional. Pada saat jatuh tempo
pembayaran kartu kredit, maka pemilik kartu kredit akan ditagih oleh Bank
sebesar Rp. 3.000.000 atas transaksi pembelian barang, bukan terpisah dua
transaksi yaitu atas Rp.2.500.000 pembelian barang dan Rp.500.000 uang cash.
Selama tidak ada complain dari salah satu pihak, maka transaksi tersebut
sah-sah saja dan harus dibayar pada saat jatuh tempo.
· Apakah pada
kwintansi tersebut yang tertulis pembelian barang sebesar Rp.3.000.000 adalah
dokumen fiktif, dimana semua pihak yang terlibat menyepakati dan menyetujui,
yaitu pembeli, penjual, issuing bank & negotiating bank, bahwa harga barang
tersebut adalah Rp. 3.000.000,- dan pembayarannyapun akan dilakukan yaitu
sebesar Rp,.3.000.000,- ditambah premi, dll
oleh pemilik
kartu kredit kepada Issuing Bank. Pada kasus LC fiktif bank BNI yang
dituduhkan, modus operandi yang dilakukan hampir sama, dengan Kartu Kredit tersebut,
yaitu sebagai berikut :
Antara Penjual (
Eksportir ) & Pembeli ( Importir ), Issuing Bank, Advising Bank &
Negotiating Bank telah terjadi kesepakatan terlebih dahulu, sbb :
I. KESEPAKATAN
MULTILATERAL / INTERNATIONAL :
a. Kesepakatan
harga, volume, waktu pengiriman dan spesifikasi barang yang akan dibeli.
b. Macam LC yang
diterbitkan, persyaratan pencairan didalam LC, tgl diterbitkan, tanggal
kadaluarsa.
c. Bank yang
akan menerbitkan LC adalah koresponden dari Bank Penjual didalam negeri atau
harus ada Bank Penjamin didalam negeri ( Advising Bank ) apabila bukan
koresponden bank, sehingga dengan adanya Advising Bank, maka Negotiating Bank
dapat melakukan pendiskotoan LC tersebut sesuai konvensi yaitu UCP.500.
d. Penerbitan
dan kemudian pengiriman LC harus menggunakan alat verifikasi yang telah
disetujui oleh dunia internasional yaitu SWIFT dengan Message Type .700, sehingga
LC tersebut dikatakan GENUINE ( benar, baik, betul, akurat dan dapat dipercaya
).
II. KESEPAKATAN
NASIONAL / DALAM NEGERI :
a. Eksportir
atau penjual barang, telah conform dengan Banknya bahwa negotiating bank yang
akan digunakan adalah sesuai dengan LC yang akan dikirim oleh Importir lewat
Issuing Bank.
b. Eksportir dan
Bank didalam negeri telah terjadi kesepakatan untuk melakukan pendiskontoan LC
yang akan diterima, setiap bank mempunyai aturan yang berbeda dalam rangka pendiskontoan
LC ekspor tersebut, tapi yang sama adalah, bahwa Bank mempuinyai HAK REGRES,
yaitu hak yang dipunyai oleh Bank di dalam negeri, yaitu apabila Issuing Bank
atau Importir tidak membayar kepada Negotiating Bank, karena pendiskontoan yang
telah dilakukan, dengan alasan apapun, maka Negotiating Bank dapat meminta
pelunasan pembayaran kepada Nasabahnya atau eksportir yang dimaksud.
c. Pendiskontoan
LC ekspor, sama halnya dengan perjanjian kredit pada umumnya, pada saat terjadi
wanprestasi di Luar negeri ( Issuing Bank ), maka berlakulah hukum Nasional di
Indonesia, yaitu
perjanjian Kredit pada umumnya, dan masuk dalam lingkup HUKUM PERDATA.
d. Apakah
penggunaan yang tidak sesuai tentang pemakaian hasil pendiskontoan atau hasil
pencairan kredit adalah suatu tindakan PIDANA…..??????? dalam hal ini Tindakan
Pidana Korupsi sesuai UU No.31/1999 jo UU.No.20/2001
e. Dalam
perjanjian Kredit atau pendiskotoan LC tersebut, Bank pada umumnya telah melakukan
prinsip kehati-hatian bank, yaitu meninjau usaha, menilai asset sebagai jaminan
pembayaran,
sehingga apabila terjadi wanprestasi, Bank tetap aman untuk menerima
pengembalian dana yang telah dicairkan kepada nasabah, baik berupa kredit atau pendiskontoan
LC.
f. Dokumen
Pendukung disini adalah seolah-olah telah atau akan terjadi pengiriman barang
dengan menggunakan Bill of Lading, & dokumen lainnya yang diminta dalam LC,
dikarenakan antara Importir dan Eksportir dan juga antara Issuing Bank &
Negoriating Bank, sudah terjadi
kesepakatan,
maka pembayaran tetap dilakukan pada saat jatuh tempo ( terbukti dari total 82
slip LC, hanya 37 Slip LC yang belum dibayar, itupun karena dikasus pidanakan
oleh BNI )
Kesimpulan :
PADA KARTU
KREDIT TERDAPAT DOKUMEN PENDUKUNG YAITU KWINTANSI YANG SEOLAH-OLAH HARGA BARANG
ADALAH Rp. 3.000.000,- SEDANGKAN PADA LC SEOLAH-OLAH TELAH ATAU AKAN ADA
PENGIRIMAN DENGAN DOKUMEN YANG DISEPAKATI DIDALAM LC
Dikarenakan
kesepakatan-2 diatas telah terjadi maka, terjadilah Pendiskontoan LC Ekspor
oleh Bank BNI terhadap Gramarindo Group, didalam pelaksanaannya tidak pernah
terjadi masalah, yaitu sejak bulan September 2002 sampai dengan Agustus 2003,
Bank diluar negeri sebagai Issuing Bank, yang menerbitkan LC tersebut tetap membayar
kepada Bank BNI atas pendiskontoan LC yang telah dilakukan terlebih dahulu dan
karena pembayarannya dalam US. Dollar, maka pembayaran selalu melewati
perjanjian Internasional, yaitu BANK SENTRAL di NEW YORK. Tetapi setelah
diketahui oleh Satuan Intern Pengawas Bank BNI, bahwa terjadi kesalahan
prosedur untuk pendiskontoan LC tersebut, maka Bank BNI atas sepengetahuan
direksi di kantor Pusat, menyetujui dibuat AKTE PENGAKUAN HUTANG atas total pendiskontoan
LC yang terjadi dan masih ditambah dengan Borgtogh oleh Owner dan Konsultan Investasi
Sagared Group. Yang sebenarnya bahwa APU tersebut adalah sama dengan Letter of
Indemnity
partial yang terlampir per slip LC yang menyangkut HAK REGRES, yang kemudian
direkapitulasi menjadi total angka didalam APU dengan tambahan
jaminan/collateral saja.
Atau dalam
gambar sbb :
( Medio juni 2004, dengan membaca
literature-2 dan belajar atas kasus yang terjadi )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar